Rabu, 13 Januari 2010

Sabtu, 28 November 2009

Para walikota Nicaragua memusatkan perhatiannya pada masalah kehutanan
June 05, 2001

Pemerintahan kota-kota di Amerika Latin saat ini mulai banyak terlibat pada masalah atau isu di bidang hutan. Peraturan Kehutanan tahun 1996 di Bolivia menghibahkan 25% royalti Hak Pengusahaan Hutan kepada pemerintah lokal. Disamping itu mereka juga dapat mengajukan klaim atau gugatan sampai sebanyak 20% terhadap hutan milik umum yang digunakan oleh kelompok masyarakat. Honduras memperoleh kembali hak perkotaan untuk mengelola hutan

milik mereka yang saat ini banyak memberikan kontribusi negara melalui komoditi kayunya. Lusinan unit kehutanan kota bermunculan di Guatemala.

Tetapi, apakah perubahan ini berarti baik atau buruk? Menurut Anne Larson, hasilnya dapat saja diantara keduanya. Tulisannya yang berjudul "Natural Resources and Decentralization in Nicaragua: Are Local Governments Up to the job?", menyimpulkan bahwa pemerintahan kota harus memiliki kapasitas, insentif dan perhatian yg cukup untuk dapat mengelola hutan dengan baik. Dalam konteks Nicaragua, hanya daerah perkotaan besar dan mereka yang disokong oleh proyek donor dan LSM saja yang mempunyai kapasitas memadai (umberdaya manusia dan finansial). Kesempatan untuk meningkatkan pendapatan kota, dengan dukungan dari LSM, proyek, atau kelompok masyarakat, dan/atau untuk memecahkan tekanan krisis atau konflik ini kebanyakan menyediakan insentif untuk pemerintahan kota dalam keterlibatannya pada masalah/isu hutan. Peraturan dan undang-undang Nicaragua mengijinkan pemerintahan kota menangani permasalahan tersebut, namun dapat juga bertindak lebih jauh lagi dengan memberikan hak dan tanggung jawab yang jelas. Meskipun demikian, untuk menangani permasalahan tersebut secara serius, mereka harus benar-benar menaruh perhatian yang terus menerus menyangkut permasalahan hutan yang ada. Hal ini memerlukan proses pendidikan masyarakat dan perubahan budaya yang lambat.

Larson membuat kesimpulan berdasarkan 21 kasus yang didokumentasikan oleh Lembaga Nitlapan Nicaragua dan memberikan perhatian khusus pada empat daerah perkotaan yang berhasil menunjukkan kemajuan nyata. Keempat daerah tersebut telah menjalankan peraturan lingkungan dan kehutanan dan sudah mempunyai badan lingkungan kota beranggotakan perwakilan yang berasal dari lembaga pemerintah serta LSM. Tiga daerah setidaknya mempunyai satu orang tenaga yang bekerja penuh menangani isu sumberdaya alam. Chinandega mempunyai persemaian pohon kota, pasukan pemadam kebakaran, dan inspektur hutan. Achapua mendirikan apa yang dinamakan dengan pasukan ekologi kota dan

menegakkan peraturan kota yang mengatur pemanfaatan hutan, air, fauna, dan penggunaan api. Jalapa mencari cara untuk mengawasi ekspansi kumbang kayu yang ada pada hutan pinus mereka dan mendorong perusahaan untuk memproses kayunya secara lokal. Bonanza mengembangkan rencana pemanfaatan lahan kota, menciptakan taman kota, mengatur penggunaan chainsaw (gergaji mesin), dan membantu melindungi wilayah masyarakat asli dari serangan/serbuan dari luar.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa beberapa kawasan perkotaan di Amerika Latin tengah melangkah maju. Namun kebanyakan masih harus menempuh jalan yang panjang.
Minimnya Informasi Masalah Kehutanan dan Illegal Logging

Sepanjang sebulan masa kampanye, masalah lingkungan dan hutan paling banyak diberitakan. Jumlahnya sama dengan informasi mengenai program presiden terhadap lingkungan. Sedangkan track record capres-cawapres terhadap lingkungan terbilang sedikit, (Selengkapnya simak tabel 5).

Meski terdapat asumsi berita media massa cetak lebih dalam ketimbang media massa cetak, namun untuk urusan lingkungan terjadi pola yang sama: berita pendek sekedar informasi. Bahkan berita Rakyat Merdeka hanya menyebut : menerima masukan mengenai illegal logging (Kompas, 23/06/04, Rakyat Merdeka, 22/06/04, Suara Pembaruan, 21/06/04).

Hal ini menyebabkan mampatnya informasi mengenai kepedulian capres-cawapres terhadap isu lingkungan dan hutan. Yang patut digarisbawahi, beberapa berita hanya menempatkan isu mengenai lingkungan di sela-sela isu lain. Alhasil berita yang disampaikan hanya 2 atau 3 paragraf, terselip di antara paragraph-paragraf lain dalam lajur berita peristiwa kampanye.

Namun terdapat pula berita yang mengulas masalah lingkungan secara panjang lebar. Misalnya dalam rubrik Prespektif (Mega Beri Bukti Bukan Janji) dalam Harian Suara Pembaruan. Rubrik ini kerap mengulas panjang lebar sosok Megawati dalam bingkai positif, salah satunya mengenai lingkungan. Narasumber yang dipilih adalah Nabiel Makarim, Menteri Lingkungan Hidup.

Terdapat kemungkinan ini merupakan bentuk kerjasama Suara Pembaruan dengan tim sukses Megawati. Semisal iklan berita atau advertorial. Berita yang menceritakan penyosokan Megawati ini diimbuhi track record Mega, yang pada 15 Agustus 2003, dalam pidato kenegaraannya menempatkan program lingkungan sebagai salah satu dari sembilan prioritas pembangunan. (Lihat Tabel 13. Tema Berita Lingkungan Hidup dalam Kampanye Pemilihan Presiden di Suratkabar, 1 Juni-1 Juli 2004 dan Tabel 14. Narasumber Berita Lingkungan Hidup dalam Kampanye Pemilihan Presiden di Suratkabar, 1 Juni-1 Juli 2004)

Berita bersumber pemerintah itu, salah satunya memberikan informasi mengenai Megawati yang peduli terhadap lingkungan. Judul yang dipilih Suara Pembaruan (11/06/04) adalah Nabiel Bercerita Bunga Anggrek di Meja Mega. Pemilihan judul ini tentunya menguatkan sisi feminin Mega yang bertautan dengan soal lingkungan. Mega digambarkan sebagai pelindung dan perawat lingkungan (feminine) melawan kekuatan perusak lingkungan (maskulin).

Pembaca seolah dibawa kepada citra Megawati yang tak aji mumpung, menggarap lingkungan di saat kampanye. Sebab, Megawati peduli lingkungan sejak dahulu. Simak nukilan pembuka berita Suara Pembaruan:

Di mata Menteri Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim, kepedulian Presiden Megawati Soekarnoputri kepada lingkungan bukan sesuatu hal yang datang secara tiba-tiba, atau terkait dengan pemilihan presiden.

Megawati yang dikenal menyukai tanaman memiliki komitmen jelas mengenai lingkungan hidup di Indonesia.
Sumber: Suara Pembaruan (11/06/04)

Penyosokan positif lainnya terdapat dalam judul Megawati Cinta Lingkungan, dengan narasumber Agus “Pungky” Purnomo, Peneliti Senior LSM Pelangi sekaligus Direktur Wahana Lingkungan Hidup. Pungky lebih banyak memuji Megawati ketimbang menyodorkan fakta sebenarnya. Kalimat seperti :

Diakuinya, selama 25 tahun bergelut di bidang pelestarian lingkungan, belum pernah melihat seorang kepala negara yang menunjukkan kepedulian mendalam pada kelestarian lingkungan hidup.
Sumber: Suara Pembaruan (11/06/04)

Sejatinya masalah llegal logging dan perusakan hutan lainnya meningkat sejak lima tahun terakhir. Pungky seolah tak mengamati kerusakan hutan yang meningkat pesat lima tahun terakhir, akibat pemain illegal logging bertambah banyak. Hal itu terjadi karena pengusaha-pengusaha yang mengantongi HPH di zaman Orde Baru terlilit hutang dan menghentikan operasinya. Berganti dengan pengusaha-pengusaha baru, baik kecil maupun besar.

Sementara jatah tebangan tahunan melalui rencana karya tahunan (RKT) yang ditetapkan pemerintah dengan realisasi penebangan kayu di lapangan besar pasak daripada tiang. RKT 2004 ditetapkan sebesar 5,7 juta m3, namun volume kayu yang ditebang per tahun mencapai 80 juta m3 atau 14 kali lebih besar dari jatah resmi. Hal ini akibat permintaan industri kayu dalam dan luar negeri meningkat pesat. Di dalam negeri sendiri kapasitas terpasang industri kayu olahan amat besar sekitar 74 juta m3 per tahun, sehingga menciptakan permintaan yang sangat besar.

Sedangkan informasi mengenai program kerja capres-cawapres dapat ditemui dalam Suara Pembaruan (30/06/04) rubrik Pemilu Presiden 2004. Kubu Amien Rais-Siswono Yudo Husodo menjanjikan semua persoalan korupsi, masuknya beras impor, dan illegal logging akan dibenahi. Mereka juga menjanjikan berani memberantas kejahatan penebangan liar (illegal logging). Sementara Megawati-Hasyim menawarkan pengurangan eksploitasi hutan secara berlebihan dengan melalui penetapan kuota perdagangan kayu hasil hutan (Suara Pembaruan, 30/06/04).

Lalu bagaimana media massa cetak memberitakan isu persoalan hutan berkaitan dengan kampanye? dari berita yang dianalisis, dapat disimpulkan, meski media massa cetak memungkinkan menggarap berita lebih dalam, namun tak dilakukan oleh media. Alhasil tak berbeda antara liputan televisi dan media cetak. Informasi mengenai masalah kehutanan berkaitan dengan kampanye mampat sudah.

Illegal logging pada umumnya sebatas disebut namun tak ada penjelasan rinci. Hanya Amien Rais dalam programnya menyebut akan memberantas penebangan liar (illegal logging) bila terpilih menjadi presiden (Suara Pembaruan, 30/06/04).
Uniknya, pemaparan program Megawati dan Hasyim Muzadi terbilang sangat sering dalam Suara Pembaruan, ketimbang capres lain. Malah Megawati-Hasyim Muzadi ditulis dalam dua artikel: Program Lima Tahun Megawati-Hasyim di Bidang Ekonomi: Peningkatan Daya Saing Internasional (Suara Pembaruan, 11/06/04 dan 15/06/04).

Suara Pembaruan (15/06/04) memaparkan pada edisi 2, empat program Megawati-Hasyim, salah satunya berwawasan lingkungan. Program yang mengangkat isu di luar illegal logging, yakni pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan, laut, tambang, air, daan lingkungan hidup yang berkesinambungan. Termasuk mencegah kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih ramah.

Tema illegal logging diberitakan pula dalam rubrik Sosok, yang memberi informasi mengenai profil Amien Rais. Sayangnya, rubrik ini tak menekankan kebijakan apa yang akan dia ambil. Berita ini sebatas pemaparan kehancuran hutan pada tahun-tahun terakhir. Amien mengatakan banyak pejabat pemerintah yang mengetahui adanya praktek pembalakan hutan, namun mereka tampaknya tak berdaya. Mereka mengetahui adanya penebangan liar, apalagi penebangan itu dilakukan dengan peralatan berat, (Kompas, Memimpin dengan Niat Lurus, 23/06/04). Namun pada Kompas (04/06/04) Amien menyatakan, pemberantasan illegal logging sangat bergantung kepada keberanian pemerintah untuk memberantasnya.

Dalam Kompas (23/6/04) berjudul Amien Rais: Saya harus Menyelesaikan Reformasi, Amien memprogramkan akan menghentikan dengan sungguh-sungguh pencurian pasir di Riau. Sedangkan Megawati memiliki program yang unik untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Dia menyerukan sistem bank pohon, yakni dunia usaha dan masyarakat berperan secara aktif mempercepat pemulihan kerusakan ekologis. Caranya, antara lain pemerintah menyediakan bibit pohon, lalu bersama-sama masyarakat melakukan reboisasi di lahan-lahan kritis.
MASALAH KEHUTANAN DI WILAYAH INDONESIA

Masalah kehutanan di wilayah Indonesia sudah sangat memprihatinkan, namun Indonesia adalah negara agraris yang sangat maju dalam bidang pemeliharaan kelestarian alam. Ironisnya masih ada saja kecolongan akibat penebangan hutan secara liar. Begitu banyak kejadian yang dapat kita lihat di layar kaca (TV) bencana alam kebanjiran akibat penebangan liar dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hutan yang gundul dapat membahayakan banjir bandam yang dahsyat. Ratusan kepala keluarga menderita kehilangan harta benda dan rumah mereka hancur diterjang banjir bandam dari hujan deras yang tak kunjung berhenti. Apalagi yang dapat kita kerjakan kecuali hanya membantu mengatasi masyarakat yang tertimpa musibah banjir. Dan terus menerus memberikan informasi tentang "BETAPA PENTINGNYA MENJAGA KELESTARIAN ALAM" dan "JANGAN MENEBANG HUTAN SEMBARANGAN" hanya demi memenuhi tuntutan hidup kepentingan dan keuntungan pribadi semata. JANGAN WARISKAN HUTAN GUNDUL KEPADA GENERASI ANAK CUCU KITA. HIDUP TIDAK HANYA SAAT INI, MASIH ADA GENERASI KITA YANG PERLU MENIKMATI KEINDAHAN ALAM LEMBAH, NGARAI, HUTAN LAUT dan HUTAN GUNUNG DI INDONESIA TERCINTA INI.
LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA DEPARTEMEN KEHUTANAN
A. PERKEMBANGAN KEHUTANAN MENJELANG TAHUN 1983



Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, mengamanatkan bahwa pengurusan hutan pada hakekatnya adalah untuk mendapatkan manfaat hutan yang sebesar-besarnya secara serbaguna dan lestari baik secara langsung maupun tidak langsung, bagi kemakmuran masyarakat.



Pengurusan hutan tersebut dilaksanakan melalui berbagai bentuk kegiatan, yang mencakup:
1. Pengaturan pemolaan dan penataan kawasan hutan.
2. Pengaturan dan penyelenggaraan pengusahaan hutan.
3. Pengaturan terhadap perlindungan proses ekologi yang mendukung sistem. penyangga kehidupan serta rehabilitasi hutan, tanah dan air.
4. Pengaturan terhadap usaha-usaha terselenggaranya dan terpeliharanya pengawetan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
5. Penyelenggaraan penyuluhan dan pendidikan di bidang kehutanan.



Agar usaha-usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan pengurusan hutan tersebut secara administratif dan teknis dapat terselenggara dengan baik maka diperlukan adanya wadah atau sarana kelembagaan yang dapat menampung seluruh aktivitas kegiatan di bidang kehutanan.



Pada PELITA I, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah pada waktu itu, kelembagaan yang menangani tugas-tugas atau kegiatan di bidang kehutanan berbentuk Direktorat Jenderal, yang secara administratif dan teknis berada di bawah Departemen Pertanian. Melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 168/Kpts-Org/4/1971 ditetapkan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Kehutanan, yang terdiri dari:

1. Sekretariat Direktorat Jenderal Kehutanan. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu administrasi untuk penyelenggaraan bimbingan, koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi seluruh kegiatan dan pekerjaan Direktorat Jenderal.

2. Direktorat Perencanaan. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan kegiatan pengumpulan dan penganalisis data, perencanaan program, pengukuhan, penataan dan pemanfaatan, inventarisasi serta evaluasi program sub sektor kehutanan.

3. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan reboisasi dan penghijauan serta persuteraan alam.

4. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Fungsinya adalah sebagai pembantu teknis untuk pembinaan cagar alam, suaka margasatwa, hutan suaka alam, taman wisata, taman buru dan sebagainya.

5. Direktorat Eksploitasi dan Pengolahan. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan dan pengembangan eksploitasi dan pengolahan hasil hutan.

6. Direktorat Pemasaran. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan dan pengembangan pemasaran hasil hutan.

7. Lembaga Penelitian Hutan. Lembaga ini berfungsi sebagai pelaksana teknis penelitian hutan, tata air, satwa liar, sutera alam, dan pencegahan serta pembasmian hama dan penyakit.

8. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Lembaga ini berfungsi sebagai pelaksana teknis penelitian teknologi (fisik dan kimiawi), pemasaran dan sarana produksi (tenaga dan alat).



Sejalan dengan usaha pemantapan organisasi di lingkungan Departemen Pertanian dalam rangka peningkatan pelaksanaan tugas pada PELITA II, maka pada tahun 1975 susunan organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Kehutanan, mengalami perubahan pula.



Dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 190/Kpts/Org/5/1975, ditetapkan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Kehutanan, yang terdiri dari:

1. Sekretariat Direktorat Jenderal

2. Direktorat Bina Program Kehutanan

3. Direktorat Bina Produksi Kehutanan

4. Direktorat Bina Sarana Usaha Kehutanan

5. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi

6. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam



Dalam struktur organisasi yang baru itu, Lembaga Penelitian Hutan yang semula adalah unsur pelaksana Direktorat Jenderal Kehutanan, dimasukkan ke dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BPPP). Sedang kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, hubungan masyarakat dan penyuluhan dimasukkan ke dalam Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian (BPLPP).



Sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan, organisasi harus dapat menampung perkembangan tugas dan kegiatan yang terjadi. Oleh karena itu, untuk lebih memantapkan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan di sub sektor kehutanan dalam PELITA III, dengan Surat Keputusan No. 453/Kpts/Org/6/1980, Menteri Pertanian mengadakan pemantapan kembali Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Kehutanan.



Berdasarkan Keputusan tersebut Susunan Organisasi Direktorat Jenderal Kehutanan ditetapkan sebagai berikut:
1. Sekretariat Direktorat Jenderal

2. Direktorat Bina Program Kehutanan

3. Direktorat Bina Produksi Kehutanan

4. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi

5. Direktorat Tertib Pengusahaan Hutan

6. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam



Sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian tersebut Direktorat Bina Sarana Usaha Kehutanan diubah menjadi Direktorat Tertib Pengusahaan Hutan. Perubahan ini sesuai dengan perkembangan keadaan pada waktu itu, yang menekankan perlunya usaha-usaha pemantapan dalam bidang pengusahaan hutan.



Disamping perangkat tingkat pusat yang berfungsi sebagai unsur pembantu bidang administrasi dan teknis, terdapat pula unsur pelaksana teknis Direktorat Jenderal Kehutanan yang terdiri dari:

1. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dibentuk berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 429/Kpts/Org/7/1978, sebagai unit pelaksana teknis di bidang perlindungan dan pengawetan alam.

2. Balai Planologi Kehutanan (BPK), dibentuk berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 430/Kpts/Org/7/1978, sebagai unit pelaksana teknis bimbingan dan pengamanan sumber serta modal kehutanan.



Selain unsur-unsur tersebut, pelaksanaan tugas-tugas yang berkaitan dengan bidang kehutanan ditangani juga oleh beberapa instansi kehutanan lainnya yang secara administratif berada di luar Direktorat Jenderal Kehutanan, yaitu:

1. Balai Latihan Kehutanan, dan Sekolah Kehutanan Menengah Atas yang merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian, yang khusus menangani kegiatan pendidikan dan latihan kehutanan.

2. Balai Penelitian Hutan (BPH) dan Balai Penelitian Hasil Hutan (BPHH), merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang khusus menangani kegiatan penelitian hutan dan hasil hutan.

3. Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah Tingkat I yang menangani urusan rumah tangga daerah di bidang kehutanan dan tugas-tugas perbantuan dari Direktorat Jenderal Kehutanan.



B. PEMBENTUKAN DEPARTEMEN KEHUTANAN



Pembangunan kehutanan sebagai suatu rangkaian usaha diarahkan dan direncanakan untuk memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya hutan secara maksimal dan lestari. Tujuannya adalah untuk memadukan dan menyeimbangkan manfaat hutan dengan fungsi hutan dalam keharmonisan yang dapat berlangsung secara paripurna.



Dalam pelaksanaannya, yang sejalan dengan semakin berkembangnya usaha-usaha lain dalam pembangunan nasional, pembangunan kehutanan menghadapi berbagai masalah/hambatan yang sangat kompleks. Apabila masalah dan hambatan tersebut tidak ditangani secara menyeluruh, tujuan pembangunan kehutanan akan dapat terganggu.



Berbagai masalah yang berupa ancaman, gangguan, dan hambatan dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, tidak akan dapat terselesaikan secara tuntas apabila penanganannya tidak bersifat strategis, yaitu melalui penanggulangan secara konsepsional dan paripurna dengan sistem manajemen yang dapat menampung seluruh aktivitas kegiatan kehutanan yang sudah semakin meningkat. Dalam kondisi seperti itu maka perlu adanya suatu bentuk administrasi pemerintahan yang sesuai dan memadai, sebagai sarana yang sangat dibutuhkan bagi terlaksananya keberhasilan pembangunan kehutanan.



Instansi kehutanan yang setingkat Direktorat Jenderal dirasakan tidak mampu mengatasi permasalahan dan perkembangan aktivitas pembangunan kehutanan yang semakin meningkat. Beberapa hambatan yang secara administratif mempengaruhi pelaksanaan pembangunan kehutanan antara lain:

1. Ruang lingkup direktorat jenderal sudah terlalu sempit, sehingga banyak permasalahan yang seharusnya ditangani dengan wewenang kebijaksanaan seorang menteri kurang mendapat perhatian. Akibatnya, Direktorat Jenderal Kehutanan sering dihadapkan kepada masalah-masalah hierarkhis, seperti misalnya di dalam melakukan kerjasama dengan instansi-instansi lain yang lebih tinggi tingkatannya.

2. Akibat selanjutnya, barangkali terus ke tingkat yang lebih bawah. Direktorat Jenderal Kehutanan terpaksa banyak mendelegasikan wewenang kepada direktorat melebihi dari yang seharusnya. Maka, direktorat terlibat pula pada tugas-tugas lini dan tugas-tugas lintas sektoral/sub sektoral, yang memang banyak terjadi untuk kegiatan kehutanan.

3. Kewenangan yang melekat pada organisasi tingkat direktorat jenderal dirasakan terlalu kecil di dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang bersifat kebijaksanaan, terutama dalam melakukan kerjasama dengan instansi lain yang terkait.

4. Hubungan teknis fungsional antara daerah dan pusat, dilakukan melalui Kantor Wilayah Departemen (Pertanian), yang karena berbedanya sifat kegiatan masing-masing sub sektor, menimbulkan kekurangserasian.

5. Keterbatasan untuk mengembangkan sarana personil terjadi, karena terikat pada jumlah formasi untuk tingkat direktorat jenderal.

6. Di samping itu terjadi pula keterbatasan pada unit organisasi, yang secara fungsional bertindak sebagai unsur pengawas.

7. Keseluruhan hambatan tersebut menyebabkan sering timbulnya masalah-masalah yang bersifat non rutin, yang memerlukan pemecahan secara khusus.



Selain itu, untuk mencapai tujuan pembangunan kehutanan diperlukan suatu pangkal tolak dan orientasi dengan cakrawala yang luas serta menyeluruh tentang hutan dan kehutanan, yang dalam pelaksanaannya mencakup aspek pemanfaatan, konservasi sumber daya alam hutan, dan rehabilitasi lahan.



Dari hal-hal tersebut, maka terbentuknya Departemen Kehutanan pada PELITA IV merupakan konsekuensi logis dari tuntutan keadaan dan perkembangan selama itu, dengan demikian wadah baru setingkat departemen tidak akan mampu menampung permasalahan-permasalahan yang beranekaragam. Hal ini sejalan dengan pidato Presiden pada pembentukan Kabinet Pembangunan IV pada tanggal 16 Maret 1983, sebagai berikut:



Untuk itu dianggap perlu untuk menambah jumlah departemen dengan memecah beberapa departemen yang dinilai ruang lingkup tugasnya perlu memperoleh perhatian yang lebih besar dan harus ditangani lebih intensif dalam PELITA IV nanti.



Sedangkan dalam pemecahan Departemen Pertanian menjadi Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan, Presiden mengatakan:



Pemecahan ini perlu, karena dalam PELITA IV nanti di satu pihak terus berusaha untuk meningkatkan produksi pertanian seperti pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan, sedangkan di lain pihak kita harus dapat memanfaatkan kekayaan alam kita yang berupa hutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap dan harus melaksanakan rehabilitasi dan kelestarian hutan.



Terbentuknya Departemen Kehutanan memang sangat tepat, karena hutan dengan multi fungsinya tidak mungkin ditangani secara baik tanpa wadah yang mandiri. Demikian pula ketiga aspek pembangunan kehutanan (perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan) dapat dilaksanakan secara saling menunjang, sehingga tidak dapat dilaksanakan secara terpisah-pisah oleh berbagai departemen. Melihat pentingnya penanganan ketiga aspek pembangunan kehutanan itu maka eksistensi Departemen Kehutanan memang merupakan suatu kebutuhan yang mendasar sebagai sarana dalam rangka tinggal landas kehutanan.



Untuk dapat menampung tugas dan fungsi pokok tersebut di atas maka sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 1984 Struktur Organisasi Departemen Kehutanan ditetapkan sebagai berikut:

1. Menteri;

2. Sekretariat Jenderal;

3. Inspektorat Jenderal;

4. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan;

5. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan;

6. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam;

7. Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan;

8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan;

9. Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan;

10. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan di Wilayah.



Di samping itu terdapat 12 UPT di lingkungan Departemen Kehutanan dan 24 Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I.



Pembentukan Departemen Kehutanan bukan merupakan restorasi dari Direktorat Jenderal Kehutanan, melainkan merupakan suatu pembangunan institusi kehutanan melalui pengembangan dan pemanfaatan kondisi dan material yang dimiliki. Hal tersebut sekaligus merupakan jawaban atas kondisi dan permasalahan yang dihadapi selama itu, yang antara lain berupa keterbatasan masalah peraturan perundangan, kepemimpinan dan kebijaksanaan, keterbatasan sarana, personil dan lain-lain. Atas dasar kondisi tersebut kemudian ditetapkan kembali tujuan, misi dan tugas pokok serta fungsi Departemen Kehutanan sebagai landasan pelaksanaan pembangunan kehutanan.
Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2010-2029

RKTN 2010-2029: Tercapainya Pengelolaan Hutan Lestari bagi Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat Secara Berkeadilan.

Gambaran perlunya disusun RKTN yang diawali dari ringkasan sejarah perencanaan dan pengelolaan kehutanan, filosofi mandat UU kepada Departemen Kehutanan dengan cakupan mandat mengembangkan dan memelihara fungsi manfaat sumberdaya hutan melalui fungsi perlindungan, fungsi produksi dan fungsi pembinaan berdasarkan aneka potensi fungsi manfaat dari beragam karakteristik sumberdaya hutan sebagai syarat tercapainya Pengelolaan Hutan Lestari bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan.

Sejarah Kehutanan Indonesia

Sumberdaya hutan di wilayah Indonesia secara historis telah mengalami 4 (empat) periode penguasaan, yaitu sejak penguasaan para raja, penguasaan zaman penjajahan Belanda, penguasaan zaman penjajahan Jepang, dan penguasaan zaman kemerdekaan. Masing-masing periode penguasaan tersebut mencerminkan keragaman pendekatan pengelolaan kehutanan dari mulai pengelolaan hutan dengan tata kelola yang baik yang mengarah kepada kelestarian hasil khususnya di Pulau Jawa Madura pada zaman penjajahan Belanda yang menjadi Perum Perhutani saat ini sampai kepada eksploitasi sumberdaya hutan untuk modal perang pada zaman penjajahan Jepang dan dinamika orientasi pengelolaan hutan di zaman kemerdekaan yang sesuai mandat Undang Undang Dasar 1945 ayat 33, yaitu pengelolaan sumberdaya hutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kebijakan Nasional Pengelolaan SDH pada era pemerintahan orde baru, dimana orientasi pembangunan pada pemenuhan kebutuhan modal yang besar guna pelaksanaan pembangunan, sehingga menitik beratkan sumberdaya hutan sebagai sebuah komoditi yang bernilai ekonomis dimulai mengarahkan pemerintah untuk melakukan eksploitasi SDH. Pada era tersebut diterbitkan UU Tentang Ketentuan Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 dan PP No. 22 Tahun 1967 yang merupakan tonggak sejarah baru pengelolaan hutan secara mekanis oleh Pemerintah Indonesia.

Pada era Orde Baru saat semua kegiatan pembangunan mengacu pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), kegiatan pembangunan dan penataan kehutanan kembali secara bertahap dilaksanakan khususnya perencanaan peruntukan hutan. Pada era ini dengan dasar Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Kehutanan yang dialihkan menjadi kewenangan pusat, dimana pelaksanaan perencanaan hutan sebagai langkah prakondisi pengelolaan hutan, meliputi tahapan yaitu: peruntukan hutan, pengukuhan hutan, penatagunaan hutan, penataan hutan. PP tersebut mengatur hal-hal yang terkait dengan antara lain: penguasaan negara atas hutan, penyusunan rencana umum, penentuan wilayah sebagai kawasan hutan, inventarisasi hutan, yang semua itu akan diperlukan untuk penyusunan Rencana Karya dan Rencana Kerja. PP ini kemudian diikuti dengan peraturan-peraturan turunannya.

Pada periode Pelita II (1973-1977), salah satu hasil penting adalah tersusunnya rencana induk (master plan) kehutanan periode tahun 1975/1976-1978/1979 yang merupakan rencana kerja 5 tahun yang dijabarkan dalam program-program kerja tahunan, yang disusun dalam suatu rapat kerja dinas kehutanan. Sejak periode Pelita III (1977-1981), Departemen Kehutanan telah menyadari perlunya menyusun suatu rencana induk sebagai landasan kegiatan pembangunan kehutanan saat itu. Rencana-rencana tersebut antara lain: Rencana Makro, Rencana Bidang, Rencana Regional/Provinsi, dan Rencana Mikro. Pada tahun 1990 guna melengkapi UU No 5 Tahun 1967 yang secara politis menitik beratkan orientasi pengelolaan hutan pada pengusahaan hutan

Catatan penting dalam sejarah perencanaan kehutanan adalah terwujudnya momentum penting yang memperkuat pengelolaan hutan berbasis kawasan, yaitu adanya Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang merupakan upaya strategis Departemen Kehutanan yang melibatkan partisipasi para fihak dan lintas sektor untuk membuat kesepakatan formal hutan sebagai public goods sebagai basis penting bagi kekuatan dan kepastian hukum penunjukkan kawasan hutan.

Masih dalam era sentralisasi, dalam perkembangan lebih lanjut terkait dengan keikutsertaan secara aktif Republik Indonesia dalam berbagai konvensi Kehutanan dan Lingkungan Hidup Dunia serta adanya kebijakan untuk meratifikasi konvensi-konvensi global, Pemerintah telah menerbitkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekosistemnya. Perkembangan tersebut berimplikasi pada tekanan keharusan perencanaan kehutanan yang berbasis pandang sumberdaya hutan sebagai suatu ekosistem yang utuh, jadi orientasi pengelolaan tidak pada aspek ekonomi semata, namun terlebih luas lagi pada aspek sumberdaya hutan yang berdimensi ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.

Puncak dinamika kebijakan perencanaan dan pengelolaan hutan pada era sentralisasi menuju era otonomi adalah terbitnya UU No. 41 tahun 1999 mengenai kehutanan yang menggeser sektor kehutanan dari timber manajemen ke arah ecologycal and social base forest manajemen.

Pada dasarnya alur sejarah kehutanan di atas, menggambarkan dinamika paradigma pengelolaan sumberdaya hutan, yang menggambarkan peningkatan kesadaran pemahaman mandat Negara untuk sektor kehutanan, antara lain dari cara pandang terhadap sumberdaya hutan sebagai modal ekonomi menuju cara pandang sumberdaya hutan yang harus dikelola secara lestari melalui 3 (tiga) macam syarat keharusan, antara lain : a) Terjaminnya keberlanjutan keberadaan lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan hutan dengan luasan yang cukup dalam sebaran spasial yang proporsional, sebagai dasar b)Terjaminnya keberlanjutan keberadaan wujud bio-fisik hutan yang tumbuh di atas lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan hutan dalam luasan yang cukup (sebagai daya dukung dalam Daerah Aliran Sungai) dan mempunyai nilai dan produktifitas fungsi dan manfaat barang dan jasa yang tinggi, yang mendukung secara optimal, c) Perencanaan dan pengelolaan hutan sebagai ekosistem yang utuh yang memberikan manfaat ekologis, ekonomis dan sosial budaya secara lestari dan berkeadilan.

Adanya perkembangan orientasi kebijakan politik Nasional era reformasi di seluruh aspek pembangunan yang ditandai dengan terbitnya UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 tahun 2006 tentang Otonomi yang berintikan mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan pembangunan tetap dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), agar memenuhi kriteria; eksternalitas, effisiensi dan akuntabilitas melalui pelaksanaan desentralisasi yang berimplikasi pada adanya pelimpahan sebagian urusan dan wewenang dari Departemen Kehutanan pada Daerah Otonom Kabupaten Kota, dimana Propinsi sebagai fasilitator dan Koordinatornya. Orientasi kebijakan nasional tersebut pada prinsipnya tidak mengubah peran Pemerintah melalui Departemen Kehutanan dalam pengurusan hutan sesuai mandat UU, yaitu; tetap mengacu pada 3 (tiga) prinsip : a) Prinsip keutuhan (holistic) aspek pengurusan hutan dalam arti harus mempertimbangkan aspek perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian pengembangan (IPTEK), pendidikan latihan dan penyuluhan kehutanan (Human capital) dan aspek Pengawasan sebagai suatu kesatuan acuan dan dengan mempertimbangkan keadaan dan potensi seluruh komponen pembentuk hutan (hayati dan non hayati); kawasan lingkungannya (bio-fisik, ekonomi, politik dan sosial budaya masyarakat) sebagai satu kesatuan ekosistem, serta memperhatikan dan mengarahkan fungsi dan manfaat hutan baik kuantitas dan kualitas yang berkelanjutan, b) Prinsip Keterpaduan, dalam arti berlandaskan pada hubungan keterkaitan antara komponen-komponen pembentuk ekosistem hutan dengan para fihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap hutan (Multi sektoral), mencakup; aspek lingkungan, ekonomi dan sosial budaya, c) Prinsip berkelanjutan, dalam arti secara kualitas dan kuantitas fungsi dan manfaat ekosistem hutan dalam segala bentuknya (barang dan jasa) harus terjaga (mewaris) antar generasi, sehingga sebagai konsekuensi logis yang tidak mungkin terhindarkan, berupa kenyataan akan terus berkurangnya luas hutan di masa mendatang, maka dalam implementasi penyelenggaraan aspek pengurusan diperlukan dukungan IPTEK yang ramah lingkungan (minimal eksternalitas negatif), peningkatan kualitas manusia pendukung penyelenggaraan pengurusan hutan melalui upaya pendidikan, latihan dan penyuluhan dan yang terakhir tak kalah pentingnya adalah berjalannya Pengawasan agar penyelenggaraan pengurusan hutan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Khusus terkait dengan penguatan penyelenggaraan Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Lestari dalam era desentralisasi/otonomi, dimana pada saat yang bersamaan dihapuskannya GBHN sebagai acuan pembangunan Nasional, maka keharusan adanya dukungan syarat pemungkin (enabling condition) berupa kejelasan mekanisme kelola (rule) melalui kejelasan pembagian peran-kewenangan/urusan pengelolaan sumberdaya hutan antar Pemerintah dengan Daerah Otonom (role, risk dan revenue sharing), antar Pemerintah dengan fihak Swasta-Masyarakat (civil society) agar tujuan kelestarian kulaitas dan kuantitas fungsi dan manfaat antar generasi tetap terjaga menjadi semakin strategis.

Syarat harus dan prinsip yang dijadikan basis pemikiran dan pertimbangan dalam perencanaan dan pengelolaan hutan sebagaimana tersebut di atas, menjadi semakin strategis, karena dengan terbitnya peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang perencanaan pembangunan nasional, diantaranya UU No. 25 Tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang dijelaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah seperti, PP No. 20 Tahun 2004, PP No. 39 Tahun 2006 dan PP No. 40 Tahun 2006, maka sudah menjadi keharusan Departemen Kehutanan sebagai bagian integral pembangunan nasional melakukan integrasi perencanaan yang berbasis substansi yang merupakan jabaran dari mandat Bab IV dari UU no.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Pemerintah, antara lain PP No. 44 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan dan PP 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, Permenhut Nomor P. 27/Menhut-II/2006, tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan (RPJPK) Tahun 2006-2025, Permenhut Nomor P.28/Menhut-II/2006 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan.

Mandat Penyusunan RKTN 2010-2029

RPJP Kehutanan Tahun 2006-2025 yang telah ada tersebut disusun untuk tingkat nasional dan dijadikan acuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kehutanan, di setiap tingkat pemerintahan mulai tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta menjadi acuan bagi rencana-rencana makro kegiatan pembangunan kehutanan lainnya. Walaupun berskala nasional, dalam penyusunannya RPJP Kehutanan Tahun 2006-2025 tersebut lebih mengacu pada UU No.25 tahun 2004, sehingga ditinjau dari substansi dirasakan para fihak masih perlu lebih disempurnakan agar memenuhi kualifikasi/kriteria dalam fungsinya sebagai Rencana Kehutanan(Pengurusan Hutan) Tingkat Nasional sesuai amanat PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan, dimana bab II bagian 8 pasal 34 dalam PP No.44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan dan pasal 15 ayat 3 dalam PP No. 6 tahun 2007 mengamanatkan untuk melaksanakan penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional yang mencakup seluruh fungsi (dan manfaat) kawasan hutan (hutan negara, hutan adat dalam hutan negara dan hutan milik). Penetapan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional berperan sebagai acuan, disusun dan diterbitkannya rencana-rencana kehutanan lain di bawahnya antara lain, Rencana Investasi, Rencana Kerja Usaha di bidang pengusahan hutan serta Rencana

Pembangunan dalam berbagai skala geografis, jangka waktu dan fungsi-fungsi pokok kawasan hutan.
Mempertimbangkan pelbagai hal tersebut diatas dan mengacu pada Instruksi Menteri Kehutanan Nomor INS.1/Menhut-II/2008, maka perlu adanya percepatan penyusunan Dokumen RKTN yang mampu memberikan arahan dan acuan bagi berbagai pihak dalam mewujudkan pengurusan hutan sesuai daya dukung fungsi dan manfaat secara lestari dan berkeadilan.

Maksud penyusunan dokumen RKTN ini adalah untuk memberikan landasan, arah dan panduan dalam mewujudkan visi pembangunan kehutanan nasional, yaitu kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat sekaligus mewujudkan fungsi hutan sebagai sistem penyangga ekosistem kehidupan dan lingkungan global secara lintas generasi melalui sistem dan praktik penyelenggaraan kehutanan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.
Tujuan penyusunan dokumen RKTN ini adalah meliputi :
1.Memberikan arah pengurusan SDH ke depan sesuai dinamika pembangunan kehutanan nasional.
2.Memberikan acuan bagi pencapaian visi pembangunan kehutanan nasional, yaitu terwujudnya kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana amanat konstitusi negara.
3.Memberikan landasan bagi penguatan kelembagaan dan peran SDM kehutanan dalam pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.Memberikan panduan bagi upaya akomodasi sinergitas pembangunan wilayah serta pengembangan berbagai sektor di luar kehutanan berbasis lahan hutan dengan tetap mengedepankan kaidah ekosistem dan daya dukung lingkungan berbasis DAS.
5.Memberikan pedoman dalam rangka program revitalisasi sektor kehutanan hulu maupun hilir berbasis ekosistem melalui identifikasi kondisi pemungkin dan arahan kebijakan guna terwujudnya target investasi, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan masyarakat desa hutan.
6.Memberikan arahan bagi terciptanya kepastian hukum dan keamanan berusaha bagi semua pihak melalui perwujudan kepastian kawasan.
7.Memberikan acuan bagi upaya akomodasi kebutuhan dan kepentingan komunitas global terhadap SDH Indonesia dengan tetap mengedepankan terwujudnya kepentingan dan kedaulatan NKRI secara lintas generasi.
8.Memberikan landasan pembangunan keberadaan dan peran SDH di masa depan dalam upaya mendukung terwujudnya ketahanan pangan, ketersediaan energi terbaharukan dan kesinambungan ketersediaan sumber daya air.

Harapan disusunnya RKTN 2010-2029

Dokumen RKTN disusun berdasarkan identifikasi kepentingan sektor kehutanan dilihat dari sudut paling adaptif, aplikatif, akomodatif dan realistis yaitu terpeliharanya multi fungsi hutan secara lestari dalam bingkai pembangunan nasional berkelanjutan serta keseimbangan ekosistem global secara lintas generasi. Dari sisi materi mencakup seluruh aspek pengurusan hutan yang meliputi perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, Litbang dan Diklatluh serta pengawasan pada seluruh fungsi pokok hutan. Baik hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi.

Pendekatan berbasis identifikasi proyeksi masa depan sektor kehutanan dimulai dari identifikasi isu-isu strategis yang menggambarkan kesenjangan (gaps) antara titik masa depan yang ingin dicapai (target) dengan kondisi saat ini (existing condition) sebagaimana tercermin dari permasalahan dan tantangan. Penyusunan dokumen RKTN bekerja dari titik masa depan untuk dapat menentukan tindakan apa yang harus dilakukan dalam bentuk arah kebijakan atau strategi aksi. Upaya mengidentifikasi kemungkinan terlaksananya target sekaligus juga untuk mengetahui implikasi dari arah kebijakan-kebijakan (scenario) disusun dalam bentuk kondisi pemungkin (enabling condition).

Dengan mengedepankan arah kebijakan atau strategi aksi diharapkan RKTN dapat menangkap dan mengakomodasi kemungkinan perubahan serta memecahkan masalah sekaligus mengatasi tantangan yang dihadapi oleh sektor kehunanan di masa depan. Namun demikian agar kebijakan menjadi fokus dan terarah akan diprioritaskan sesuai kemampuan implementasi dan yang mungkin dapat menyelesaikan permasalahan kehutanan. Dengan demikian dokumen RKTN ini merupakan dasar atau landasan yang akan memberi arah dan menjadi panduan bagi pengurusan hutan nasional.
KONSEPSI STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN TROPIS

PENDAHULUAN
Produktivitas hutan semakin menurun seiring dengan laju peningkatan deforestasi, illegal logging dan konversi lahan hutan. Sedangkan permintaan terhadap hasil hutan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, proferti dan industri. Hal ini menyebabkan adanya ketimpangan supply dan demand hasil hutan. Supply hasil hutan berkaitan erat dengan produktivitas lahn hutan, jika supply ingin dinaikan maka produktivitas hutan harus ditingkatkan.
Kondisi hutan saat ini mengalami penurunan produktivitasnya seiring dengan berkurangnya luas hutan. Menurut hasil TGHK (1983) luas hutan Indonesia tercatat 143,57 juta ha. Namun dalam kurun waktu 20 tahun luas hutan Indonesia tinggal 109,37 juta ha (Badan Planologi Kehutanan, 2000). Selama kurun waktu dua dekade telah terjadi konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan hampir mencapai 34 juta ha. Dengan demikian setiap tahunnya terjadi deforestasi seluas 1,7 juta ha. Pengurangan kawasan hutan terbesar jatuh pada kawasan hutan produksi yang mencapai 31,19 ha. (Dirjen BPK Dephut, 2003). Nugraha (2005) berpendapat laju deforestasi mencapai 2,8 juta ha/th.
Lebih lanjut BPK (2003) melaporkan bahwa dewasa ini hutan yang rusak di luar kawasan sebesar 42,11 juta ha, sedangkan yang di dalam kawasan sebesar 59,62 juta ha. Konfigurasi kerusakan hutan di dalam kawasan adalah sebagai berikut: seluas 44,42 juta ha kerusakan terjadi di kawasan hutan produksi (79,19%). Sementara itu kerusakan di kawasan hutan lindung mencapai 10,52 juta ha (17,64%) dan kerusakan di hutan konversi kurang dari 4,69 juta ha (7,87%).
Ada dua cara untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan yaitu pertama cara ekstensifikasi (berupa perluasan areal hutan) dan kedua adalah intensifikasi riap (peningkatan riap tegakan). Cara yang pertama agak sulit dilakukan karena pada kenyataannya lahan hutan selalu jadi sasaran untuk pengembangan wilayah baru sehingga yang terjadi adalah alih fungsi lahan dari sektor kehutanan ke nonkehutanan. Cara yang kedua lebih memungkinkan dengan cara memasukan teknologi untuk meningkatkan riap pertumbuhan. Maka bentuk hutan yang dikembangkan adalah hutan tanaman. Dari sisi bioproduksi, agar hutan tanaman ini tumbuh optimal pada prinsipnya ada dua aspek yaitu pertama aspek material tanamannya dan yang kedua adalah proses atau perlakuannya (treatment). Material tanaman harus menggunakan material yang unggul dan perlakuannya (prosesnya) dengan menerapkan system Silvikultur intensif.

PROBLEM PENURUNAN PRODUKTIVITAS HUTAN
Penurunan produktivitas hutan seiring dengan menurunnya luasan efektif hutan produksi. (Tabel 1). Pada tahun 1997 jumlah HPH aktif tercatat sebanyak 450 buah dengan luas areal konsesi sebesar 52.813.041 ha. Total kayu bulat dari berbagai jenis yang dapat diproduksi saat itu sebesar 23.950.247 m3/th. Tahun 2000 jumlah HPH berkurang menjadi 407 buah dengan luas areal konsesi sebesar 37.471.714 ha (turun 29,05%). Pada tahun ini produksi kayu bulat yang diproduksi mencapai 13.059.808 m3/th atau mengalami penurunan sebesar 45,47%. Pada awal tahun 2003 kondisi pengusahaan hutan semakin memburuk, hal ini bisa dilihat dari jumlah HPH yang mampu bertahan hanya berjumlah 270 buah. Luas areal konsesi hanya sebesar 28.885.864 ha atau mengalami penurunan sebesar 25,05%, sedangkan produksi kayu bulat yang dihasilkannya mencapai 6.700.000 m3/th (turun 48,69%).

Tabel 1. Jumlah HPH dan Produksi kayu yang dihasilkan dari areal konsesinya
No Tahun Jml HPH Luas (Ha) Produksi (m3/th)
1 1997 450 52.813.041 23.950.247
2 2000 407 37.471.714 13.059.808
3 2003 270 28.885.864 6.700.000
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2003

Penurunan produktivitas di hutan alam tersebut sebahagian orang berpendpat sebagai indikasi kegagalan sistem silvikultur yang dipakai saat ini yaitu sistem Tebang Pilih Tananm Indonesia (TPTI). Sistem TPTI merupakan sistem silvikultur hutan daratan yang ditetapkan melalui SK Menhut No. 485/Kpts-II/1989, sedangkan pedoman TPTI nya ditetapkan dengan SK Dirjen PH No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989. Sistem silvikultur ini merupakan penyempurnaan dari sistem silvikultur sebelumnya yaitu sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang ditetapkan dengan SK Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/I/1972. Pada tahun 1993 pedoman TPTI sempat direvisi menjadi lebih banyak tahapan melalui SK Dirjen PH no. 151/Kpts/IV-BPHH/1993.
Dilihat dari segi konsep, sistem TPTI ini sudah bagus namun dalam implementasinya seringkali tidak sesuai. Aspek yang sulit dikendalikan adalah upaya pembinaan terhadap tegakan tinggal (pohon binaan). Menurut Soekotjo (2005) masalahnya terletak pada kontrol yang sulit dilakukan yang menyebabkan hasil pekerjaannya tidak mudah dilacak, sehinnga HPH(IUPHHK) tidak melaksanakan kewajibannya dengan sepenuh hati. Pelaksanaan pembinaan hutan sejujurnya tidak berkembang lebih baik daripada TPI. Seringkali pembuatan persemaian hanya merupakan pajangan agar penilai yakin bila HPH yang bersangkutan juga melakukan tanaman pengayaan.
Kegiatan tebang pilih dalam TPTI disinyalir telah menjadi pemicu penyempitan keragaman genetika populasi tegakan hutan alam. Dengan pendekatan batas limit diameter, mungkin saja pohon yang ditebang adalah pohon yang memiliki mutu genetik unggul dan yang dibiarkan justru yang memiliki mutu genetik jelek. Misalkan pohon A pada saat ini memiliki diameter (dbh) 49 cm, sedangkan pohon B memiliki diameter 50 cm, maka menurut sistem TPTI pohon yang ditebang adalah pohon B. Pohon A menjadi status pohon binaan, dengan asumsi riap diameter 1 cm/th maka pada tahun yang akan datang pohon A ini akan mencapai ukuran diameter 50 cm. Namun bisa saja pohon A ini umurnya sudah lebih tua dari pohob B, sehingga pohon A sudah stagnan dan tidak mampu mencapai ukuran diameter 50 cm. Dengan kata lain pohon A bisa memiliki mutu genetik jelek karena tidak mampu mencapai ukuran diameter ideal. Semakin banyak kasus ini terjadi maka generasi yang ditinggalkan adalah individu-individu yang berfenotif (genetik) jelek sehingga terjadilah penyempitan genetik (the bottle neck generation) di hutan alam. Hal ini harus dicegah dengan upaya pembangunan konservasi genetik jenis-jenis yang dibudidayakan, baik secara eksitu maupun insitu.
Penurunan produktivitas tidak hanya di hutan alam, tetapi juga terjadi di hutan tanaman di P. Jawa. Penurunan produktivitas lahan hutan terjadi pula di hutan tanaman jati yang dikelola lebih intensif. Penurunan produkstivitas lahan hutan jati disinyalir disebabkan karena kualitas tegakan jati semakin menurun sebagai akibat tidak menggunakan benih yang bergenetik unggul. Selain itu daya dukung lahannya sudah muali menurun akibat peurunan kandungan hara tanah dari tahun-ke tahun. Menurut Marsono (2002), struktur hutan monokultur menjadikan stabilitas hutan (natural stabilizing factor) tidak berfungsi, sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor, yang biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan.
Penentuan kelas kesuburan lahan di hutan jati ditentukan dari bonitanya. Bonita ditentukan dari nilai peninggi dan umur tegakan jati. Peninggi dihitung dari rata-rata tinggi sepuluh pohon tertinggi dalam petak penjarangan yang luasnya 0,1 ha. Praktek ini sudah berjalan lama dan menjadi dasar penetuan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan dalam kurun waktu 20 tahun. Metode penggunaan nilai bonita untuk menilai daya dukung lahan merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda. Mengingat kondisi tegakan jati sudah jauh berbeda maka perlu kiranya kebijakan ini ditinjau kembali. Penilaian daya dukung lahan lebih rasional dengan pendekatan ekosistem site (tapak) seperti dicontohkan oleh Marsono, (2005).
Dari hasil perhitungan penurunan produktivitas di hutan alam terjadi dari 0,5 m3/ha/th (TGHK,1983) menjadi 0,21-0,26 m3/ha/th (Suparna, 2005). Dengan demikian terjadi penurunan sebesar 48-58%. Sedangkan penurunan produktivitas hutan tanaman di Jawa (khususnya hutan tanaman jati) terjadi dari angka 4-6 m3/ha/th (data Wolf von Wulfing, sebelum 1900 - an) menjadi 1,298 m3/ha/th (Revilla & Setyarso, 1992), dengan kata lain terjadi penurunan produktivitas antara 67,5% - 78,4%.
KONSEPSI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN
Pengertian produktivitas hutan
Produktivitas adalah suatu indeks yangg dipakai untuk mengukur secara relatif hubungan antara output yg dihasilkan (barang & jasa) terhadap input (TK, material, energi, dan Sumber daya lainnya) yang dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk (Stevenson, 1996). Indeks produktivitas ini biasanya dinyatakan sebagai perbanidingan antara output dengan input.
Pada pembangunan hutan tanaman yang menjadi output bisa berupa kayu dan non kayu (termasuk jasa lingkungan). Untuk output berupa kayu biasanya dinyatakan dalam satuan rata-rata riap per tahun (mean annual increament) yaitu m3/ha/th. Sedangkan yang menjadi faktor input adalah jenis tanaman, tapak, iklim, unsur hara, teknik silvikultur, dan faktor-faktor lainnya. Dari berbagai infut tersebut , Zobel et al (1987) mengatakan bahwa faktor pemilihan jenis dan provenans merupakan kunci sukses program pembangunan hutan tanaman. Bahkan, Zobel & Talbert (1984) mengatakan bahwa hasil yang maksimal dari hutan tanaman hanya dapat dicapai jika aktifitas manjemen penghutanan yang intensif menggunakan materi genetik terbaik.
Konsep kesuburan lahan hutan
Pada umumnya kondisi lahan hutan alam (di luar Jawa) adalah lahan marginal. Jenis tanahnya sebagian besar adalah tanah pozsolik merah kuning (PMK), tanah ini termasuk ordo oxisols dan ultisol. Kedua tanah tersebut merupakan tanah tua yang sudah sangat lapuk (highly-weathered) dan berkembang lanjut, sehingga memiliki tingkat kesuburan rendah, terutama akibat rendahnya kandungan kation-kation basa (Ca, Mg, dan K) dan fosfor (P), serta rentan terhadap usikan. Kehilangan vegetasi penutup (hutan) mengakibatkan mudah tererosi dan cepat mengalami penurunan kapasitas produksi.
Hasil penelitian status hara di hutan alam yang dilakukan oleh Munawar (2005), menunjukkan bahwa kandungan unsur hara tanah di bawah tegakan hutan perawan (virgin forest) secara umum cenderung lebih tinggi daripada di hutan bekas tebangan yang sudah berumur satu hingga 4 tahun. Pada tanah ultisol pH tanah berkisar antara 3,5 - 5,5 (sangat masam) dan pada tanah di bawah tegakan hutan perawan pada kedalaman 0,5 cm lebih rendah daripada hutan bekas tebangan.
Kesuburan lahan hutan tropis terletak pada biomassa vegetasi di atasnya, apabila vegetasi diatasnya ditebang habis dan biomassa dikeluarkan dari tapak tersebut maka tanah hutan menjadi sangat miskin hara. Kondisi curah hujan yang tinggi mengakibatkan pencucian hara pada lantai hutan lebih tinggi, apalagi jika kondisinya gundul. Oleh karena itu pada tanah-tanah yang terbuka perlu input nutrisi lebih tinggi sampai tanah tersebut tertutup oleh vegetasi di atasnya. Menurut Goncalves et al, (2004) setelah kanopi (tajuk) menutup kebutuhan hara sebagian besar akan dipenuhi melalui penyerapan hara yang tersedia dari mineralisasi serasah (siklus biogeokhemis hara) dan retranslokasi (resorpsi) hara internal (siklus biokhemis). Semakin instens siklus hara, pohon semakin kurang bergantung pada penyerapan hara dari dalam tanah.

Penelitian retranslokasi hara pada spesies cepat tumbuh seperti A. mangium telah dilaporkan (Hardiyanto et al, 2004). Penelitian tersebut berusaha untuk memahami strategi pohon untuk mempertahankan pertumbuhan yang cepat sampai dengan akhir daur. Pada A. mangium berumur 2 tahun retranslokasi hara dalam pohon ternyata cukup besar. Misalnya pada plot yang kurang subur ketika daun berkembang dari fase hijau-hidup ke fase sanesen (senescent) – kuning, persentase hara yang diretranslokasikan dari daun senesen adalah 26,8% N, 76,5% P, 30,8%K, setara dengan (ha/th) 50 kg N, 5,2 kg P, dan 18,3 kg K, berdasrkan deposisi serasah sebesar 9,1 ton/ha/th. Pada plot yang lebih subur angka-angka ini adalah 30,3% N, 84,4% P, 34,5% K, setara dengan (ha/th) 56 kg N, 5,7 kg P dan 20,3 kg K berdasarkan deposisi serasah sebesar 9,0 ton/ha/th.
Strategi peningkatan produktivitas lahan hutan
Peningkatan produktivitas lahan hutan bisa ditempuh melalui dua pendekatan yaitu (1) pendekatan peningkatan kualitas tegakannya (vegetasi) dan (2) melalui peningkatan daya dukung lahannya. Peningkatan kualitas tegakan bisa ditempuh melaui upaya antara lain:
a. Pemakaian benih/bibit unggul secara genetik
”Kualitas tegakan yang akan datang ditentukan dri kualitas benih yang ditanam saat ini”. Nampaknya slogan ini tidak terlalu mengada-ngada sebab benih yang berkualitas akan menghasilkan bibit berkualitas, bibit berkualitas akan menghasilkan tanaman berkualitas dan tanaman berkualitas akan menghasilkan pohon yang berkualitas, dengan catatan prosesnya dilakukan secara baik dan benar. Proses tersebut tidak lain adalah silvikultur intensif.
b. Penerapan teknik silvikultur intensif
Teknik silvikultur adalah suatu metode bagaimana menangani pembangunan hutan mulai dari perbenihan, persemaian, penanaman dan pemeliharaan tanaman dan tegakan sampai siap panen (tebangan akhir daur). Teknik silvikultur intensif adalah suatu istilah untuk membedakan dengan teknik silvikultur biasa (tradisional). Teknik silvikultur intensif mencakup beberapa aspek yaitu; pemakaian materi benih bergenetik unggul (berkualitas), pengolahan tanah dengan prinsip Reduce Impact Loggging (RIL) atau Low Tillage, penanaman tepat waktu pada musim penghujan, penambahan input hara tanah dengan pupuk buatan atau bahan organik, pemeberantasan hama dan penyakit, pemeliharaan intensif (pendangiran, wiwil, pemangkasan dan penjarangan), perlindungan gangguan hutan.
c. Penerapan pemuliaan pohon
Hasil-hasil pemuliaan pohon (Breeding) akan menghasilkan karakter (traits) yang unggul dan diinginkan sehingga akan membantu peningkatan produktivitas. Tujuan dari pemuliaan pohon adalah memperoleh peningktan genetik (genetic gain) dari sifat yang diinginkan, terutama sifat ketahanan terhadap hama atau cekaman lingkungan.
d. Perlindungan gangguan hutan
Gangguan hutan meliputi gangguan hama penyakit, kebakaran, pencurian, dan bencana alam. Yang bisa diintensifkan adalah pencegahan dari gangguan hama/penyakit, kebakaran dan pencurian dengan bekerjasama dengan stakeholder yang terkait.
e. Pengadaan sumber benih unggul
Pangadaan sumber benih unggul antara lain dengan membangun kebun benih dari Uji keturunan yang selanjutnya dikonversi ke kebub benih. Tipe kebun benih yang dibangun bisa berupa kebub benih semai (seedling seeed orchard) atau kebun benih klonal (Clonal seed orchard). Selain untuk penyediaan benih kebun benih juga berfungsi sebagai konservasi meteri genetik tanaman.
Peningkatan daya dukung lahan hutan dapat dilakukan melalui pengendalian neraca hara tanah hutan, penerapan RIL, pemanfaatan mikroorganisme tanah hutan, stabilisasi pH tanah, dan penerapan KTA. Penambahan input nutrisi (hara) ke lantai hutan sangat bermanfaat untuk stabilisasi sifat fisik dan kimia tanah hutan, terutama pada saat tajuk pohon belum menutupi areal (awal pertumbuhan). Setidaknya pemberian input nutrisi yang tepat adalah pada awal pertumbuhan tanaman dan pasaca penjarangan.
Di Australia, pemupukan pada tegakan Pinus radiata pasca penjarangan pertama dengan pupuk N dan P dapat meningktkan produktivitas yang signifikan (>30% dalam luas bidang dasar dan volume dalam kurun waktu 7 tahun) (Sar dan Crane 1984, Turner et al 1995). Di Selandia Baru, pemupukan setelah penjarangan meningktkan pertumbuhan berkisar antara 28 % sampai 69 %. (Crane, 1984). Hara yang berpengaruh pada pemupukan pasca penjarangan adalah N dan P. (Turner, et al, 1995).
Kajian kelestarian produktivitas hutan tanaman daur pendek telah dilakukan pada A.mangium. Hasilnya pada daur kedua, pada tanah PMK di Sumatera Selatan mennjukkan bahwa produktivitasnya A.mangium tidak menurun, malahan lebih tinggi dari daur pertama. Pertanaman daur kedua pada umur 3 tahun memiliki volume batang (total) berkisar antara 132-160 m3/ha. Peningkatan produktivitas ini disebabkan oleh penggunaan bibit bermutu, dikombinasikan dengan praktik silvikultur yang tepat, antara lain penyiapan lahan minimum, manajemen bahan organik, masukan hara, dan pengendalian gulma (Hardiyanto et al. 2004).
SIMPULAN
Dari uraian ini dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Peningkatan produktivitas hutan dapat dilakukan melalui (1) pendekatan peningkatan kulaitas tegakannya dan (2) melalui peningktan daya dukung lahannya.
2. Faktor input yang penting bagi peningkatan produktivitas hutan adalah (1) penggunaan materi genetik unggul dan (2) penerapan sistem silvikultur intensif.
PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik Perusahaan hak Pengusahaan Hutan, BPS, Jakarta.
Crane,W.J.B. 1983. Fertilisation of Pinus merkusii at establishment and in association with thinning-an evaluation of its potential in Australia. N.Z.J. For. Sci. 12: 293-307
Crane, W.J.B. 1984. Fertilisation of Fast Growing Conifers. UFRO, Proc. Symp. On site and productivity of Fast Growing Plantations. South Africa, may 1984. pp 233-251.
Departemen Kehutanan. 1989. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Departemen Kheutanan Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1993. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Departemen Kheutanan Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1997. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 220/Kpts/IV-BPHH/1997 tentang Pedoman Pelaksanaan Hutan Tanaman Industri dengan Sistem Tebang Pilih dan Tanam Jalur. Departemen Kheutanan Jakarta.
Freezailah, B.C.Y. 1998. General Lecture at the Gadjah Mada University, Yogyakarta. 10 Agustus 1998. Faculty of Forestry, Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Goncalves, J.LM., Stape, J.L., Benedetti, V.,Fesel, V.A.G and Gava,J.L. 2004. An Evaluation of minimum and intensive spil preparation regarding Fertility and Tree Nutrition. In: Goncalves, J.L.M. and Benedetti, V (Eds). Forest Nutrition and Fertilization. Institute of Forest Research and Study, Piracicaba, Sao Paulo. Pp 13-64
Hardiyanto, E.B. 2004. Biodiversitas hutan tanaman Acacia mangium dalam : Hardiyanto, E.B dan Arisman, H (Eds) Pembangunan Hutan Tanaman acacia mangium Pengalaman di PT Musi Hutan Persada , Sumatera Selatan. PT. Musi Hutan Persada. Palembang. Hal 397-418.
Marsono. 2002. Keharusan Konservasi dalam Pengelolaan Hutan. Dalam Seminar Rehabilitasi dan konservasi menuju Pengelolaan Hutan Masa Depan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada . Yogyakarta.
Na’iem, M. 2002. Konservasi Keragaman Sumberdaya Genetik untuk Peningkatan Produktivitas Hutan. Dalam Seminar Rehabilitasi dan konservasi menuju Pengelolaan Hutan Masa Depan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada . Yogyakarta.
Nugraha, A. 2005. menggugat Status Silvikultur Hutan Alam: Antara Kunci atau Kartu Mati. dalam Prosiding Peningkatan Produktivitas Hutan. (ed. Eko B. Hardiyanto). Proyek ITTO PD 106/01 Rev. 1(F). Yogyakarta.
Sadharjo Sm, Aris W. 2002. Penigkatan Produktivitas Tegakan Jati Melalui Silvikultur Intensif. Dalam Seminar Rehabilitasi dan konservasi menuju Pengelolaan Hutan Masa Depan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada . Yogyakarta.
Soekotjo. 2005. Evolusi Tebang Pilih Indonesia: Konsep, Aplikasi dan Hasil. dalam Prosiding Peningkatan Produktivitas Hutan. (ed. Eko B. Hardiyanto). Proyek ITTO PD 106/01 Rev. 1(F). Yogyakarta.
Stevenson, W.J. 1996. Production/Operation Management. Fofth edition. Irwin Mc. Graw Hill, Boston, USA.
Suparna, N. 2005. Meningkatkan Produktivitas kayu dari Hutan Alam dengan Penerapan Silvikultur Intensif di PT sari Bumi Kusuma Unit Seruyuan-Kalteng. dalam Prosiding Peningkatan Produktivitas Hutan. (ed. Eko B. Hardiyanto). Proyek ITTO PD 106/01 Rev. 1(F). Yogyakarta.
Turner., J., Knott, J.H. and Lambert, M. 1995. Fertilization of Pinus radiate plantations after thinning. I. Productivity gains. Australia Forestry 59: 7-21
Zobel, B.J, Van Wyk, G, Stahl,P. 1987. Growing Exotic Forest. John Willey and Sons, New York. USA
Zobel, B.J and Talbert, J,.T. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley & Sons, New York.
Peneliti di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Unwim

Last Updated ( Wednesday, 11 February 2009 18:41 )

EKSPLORASI CALON POHON PLUS TENGKAWANG (Shorea spp) DI AREAL IUPHHK PT. RODA MAS TIMBER KALIMANTAN UNIT II BASE CAMP SEI. BOH KALIMANTAN TIMUR



Written by Intsia bijuga
Wednesday, 11 February 2009 18:22
Salah satu dari serangkaian kegiatan pemuliaan pohon yaitu seleksi. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan pemilihan pohon unggul (superior) dari suatu populasi yang luas untuk mendapatkan peningkatan nilai genetik (Zobel dan Talbert, 1984).
Seleksi pohon plus tengkawang di areal IUPHHK PT. Roda Mas Timber Kalimantan belum pernah dilakukan. Tujuan akhirnya adalah pembangunan sumber benih berkualitas mengingat pohon tersebut selain kayunya yang mempunyai nilai komersil tinggi terutama kayu dan buahnya serta dilindungi. Selanjutnya, seleksi pohon plus jenis tengkawang yang dimaksud adalah Shorea macrophylla atau S. gyberstiana (de Vriese) P. Ashton, Shorea pinanga Scheff dan Shorea seminis de Vriese.
Metode penilaian calon pohon plus yang digunakan adalah dengan menggunakan metode tanpa pohon pembanding dan metode pohon pembanding (modifikasi).
Berdasarkan hasil survei ditemukan sebanyak 43 calon pohon plus yang tersebar di petak J sebanyak 14 pohon, tegakan bina pilih sebanyak 3 pohon, depan camp perencanaan sebanyak 3 pohon, pinggir jalan KM 5 sebanyak 1 pohon, dibelakang persemaian sebanyak 3 pohon, sebanyak 17 pohon di jalur orientasi petak 2009, 1 pohon sebelum masuk jalur orientasi petak 2009 dan 1 pohon di depan tenda kegiatan orientasi petak 2009.
Berdasarkan hasil penilaian dengan metode tanpa pohon pembanding terhadap 43 calon pohon plus tengkawang, diperoleh skor antara 52 sampai 95. Kriteria pohon yang lolos seleksi menjadi pohon plus adalah pohon-pohon yang memiliki skor ≥ 60, oleh karena itu dari 43 calon pohon plus yang dinilai hanya sebanyak 41 pohon yang lolos seleksi.
Hasil penilaian dengan menggunakan metode tanpa pohon pembanding dinilai ulang dengan menggunakan metode pohon pembanding (modifikasi). Adapun yang menjadi pohon pembanding adalah rata-rata diameter dan tinggi dari 43 calon pohon plus. Hasil penilaian akhir dengan metode pohon pembanding (modifikasi) terhadap 43 calon pohon plus tengkawang, diperoleh skor antara 55 sampai 97. Kriteria pohon yang lolos seleksi menjadi pohon plus adalah pohon-pohon yang memiliki skor ≥ 60, oleh karena itu dari 43 calon pohon plus yang dinilai hanya sebanyak 27 pohon yang lolos seleksi.
Pengambilan titik GPS masing-masing calon pohon plus yang telah ditunjuk tidak dilakukan pada semua calon pohon plus dikarenakan ada beberapa areal seperti areal jalur orientasi RKT 2009 memiliki penutupan tajuk yang cukup rapat, maka pengambilan titik pohon plus yang berada dalam areal jalur orientasi RKT 2009 menggunakan koordinat lokal mengikuti jalur orientasi kayu.
Perbedaan antara kedua metode tersebut dalam pengukuran tiap karakter pohon terletak pada pengukuran karakter tinggi dan diameter pohon, dimana pada metode tanpa pohon pembanding kedua karakter tersebut tidak dihitung. Keuntungan menggunakan sistem penilaian pohon plus tanpa pohon pembanding adalah kemudahan dalam menghitung tiap karakter, karakter yang dihitung sedikit dan bobot nilainya lebih besar. Sedangkan kerugiannya adalah kurang selektif dalam pemilihan pohon plus karena karakter yang merupakan sifat kuantitatif dari calon pohon plus tidak dihitung yaitu tinggi dan diameter. Dengan penggabungan dua metode tersebut diharapkan penilaian terhadap pohon plus tengkawang akan lebih selektif karena melewati dua tahapan penilaian yang mencakup sifat kualitatif dan kuantitatif.
Hasil akhir penemuan calon pohon plus tengkawang hanya diperoleh 43 calon pohon plus. Hanya terdapat 41 pohon plus yang memenuhi kriteria standar penilaian (total skor ≥ 60), berdasarkan sistem penilaian dengan metode tanpa pohon pembanding. Sedangkan pada sistem penilaian dengan metode pohon pembanding (modifikasi) terdapat 27 pohon plus yang memenuhi kriteria standar penilaian (total skor ≥ 60).
Berdasarkan metode tanpa pohon pembanding, pohon plus terpilih banyak didominasi oleh Shorea seminis dengan jumlah 18 pohon. Untuk shorea gyberstiana dan Shorea pinanga berturut-turut berjumlah 12 dan 11. Sedangkan dengan metode pohon pembanding (modifikasi) pohon plus masih didominasi oleh Shorea seminis dengan jumlah 15 pohon dan berturut-turut Shorea gyberstiana dan Shorea pinanga dengan jumlah 8 dan 4 pohon.
Adanya perbedaan hasil antara metode tanpa pohon pembanding dan metode pohon pembanding (modifikasi) menunjukkan bahwa metode pohon pembanding (modifikasi) lebih selektif daripada dengan metode tanpa pohon pembanding. Terbukti dengan 41 pohon yang memenuhi kriteria metode tanpa pohon pembanding, menjadi 27 pohon plus berdasarkan metode pohon pembanding (modifikasi).
Mengingat tujuan pembangunan sumber benih tengkawang adalah untuk kayu pertukangan/gergajian, maka sifat kualitatif seperti kelurusan batang dan kesilindrisan batang dari pohon tersebut diperhitungkan karena sifat-sifat kualitatif tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh genetik.
Penggabungan sistem penilaian pohon plus metode tanpa pohon pembanding dan metode pohon pembanding (modifikasi) menghasilkan 27 pohon terbaik dengan asumsi bahwa pohon yang memiliki skor tertinggi adalah pohon terbaik. Calon pohon plus yang terpilih sudah memenuhi syarat 25 pohon untuk dijadikan sebagai pohon induk dalam rangka membangun sumber benih (Dephut, 2003).