Sabtu, 28 November 2009

KONSEPSI STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN TROPIS

PENDAHULUAN
Produktivitas hutan semakin menurun seiring dengan laju peningkatan deforestasi, illegal logging dan konversi lahan hutan. Sedangkan permintaan terhadap hasil hutan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, proferti dan industri. Hal ini menyebabkan adanya ketimpangan supply dan demand hasil hutan. Supply hasil hutan berkaitan erat dengan produktivitas lahn hutan, jika supply ingin dinaikan maka produktivitas hutan harus ditingkatkan.
Kondisi hutan saat ini mengalami penurunan produktivitasnya seiring dengan berkurangnya luas hutan. Menurut hasil TGHK (1983) luas hutan Indonesia tercatat 143,57 juta ha. Namun dalam kurun waktu 20 tahun luas hutan Indonesia tinggal 109,37 juta ha (Badan Planologi Kehutanan, 2000). Selama kurun waktu dua dekade telah terjadi konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan hampir mencapai 34 juta ha. Dengan demikian setiap tahunnya terjadi deforestasi seluas 1,7 juta ha. Pengurangan kawasan hutan terbesar jatuh pada kawasan hutan produksi yang mencapai 31,19 ha. (Dirjen BPK Dephut, 2003). Nugraha (2005) berpendapat laju deforestasi mencapai 2,8 juta ha/th.
Lebih lanjut BPK (2003) melaporkan bahwa dewasa ini hutan yang rusak di luar kawasan sebesar 42,11 juta ha, sedangkan yang di dalam kawasan sebesar 59,62 juta ha. Konfigurasi kerusakan hutan di dalam kawasan adalah sebagai berikut: seluas 44,42 juta ha kerusakan terjadi di kawasan hutan produksi (79,19%). Sementara itu kerusakan di kawasan hutan lindung mencapai 10,52 juta ha (17,64%) dan kerusakan di hutan konversi kurang dari 4,69 juta ha (7,87%).
Ada dua cara untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan yaitu pertama cara ekstensifikasi (berupa perluasan areal hutan) dan kedua adalah intensifikasi riap (peningkatan riap tegakan). Cara yang pertama agak sulit dilakukan karena pada kenyataannya lahan hutan selalu jadi sasaran untuk pengembangan wilayah baru sehingga yang terjadi adalah alih fungsi lahan dari sektor kehutanan ke nonkehutanan. Cara yang kedua lebih memungkinkan dengan cara memasukan teknologi untuk meningkatkan riap pertumbuhan. Maka bentuk hutan yang dikembangkan adalah hutan tanaman. Dari sisi bioproduksi, agar hutan tanaman ini tumbuh optimal pada prinsipnya ada dua aspek yaitu pertama aspek material tanamannya dan yang kedua adalah proses atau perlakuannya (treatment). Material tanaman harus menggunakan material yang unggul dan perlakuannya (prosesnya) dengan menerapkan system Silvikultur intensif.

PROBLEM PENURUNAN PRODUKTIVITAS HUTAN
Penurunan produktivitas hutan seiring dengan menurunnya luasan efektif hutan produksi. (Tabel 1). Pada tahun 1997 jumlah HPH aktif tercatat sebanyak 450 buah dengan luas areal konsesi sebesar 52.813.041 ha. Total kayu bulat dari berbagai jenis yang dapat diproduksi saat itu sebesar 23.950.247 m3/th. Tahun 2000 jumlah HPH berkurang menjadi 407 buah dengan luas areal konsesi sebesar 37.471.714 ha (turun 29,05%). Pada tahun ini produksi kayu bulat yang diproduksi mencapai 13.059.808 m3/th atau mengalami penurunan sebesar 45,47%. Pada awal tahun 2003 kondisi pengusahaan hutan semakin memburuk, hal ini bisa dilihat dari jumlah HPH yang mampu bertahan hanya berjumlah 270 buah. Luas areal konsesi hanya sebesar 28.885.864 ha atau mengalami penurunan sebesar 25,05%, sedangkan produksi kayu bulat yang dihasilkannya mencapai 6.700.000 m3/th (turun 48,69%).

Tabel 1. Jumlah HPH dan Produksi kayu yang dihasilkan dari areal konsesinya
No Tahun Jml HPH Luas (Ha) Produksi (m3/th)
1 1997 450 52.813.041 23.950.247
2 2000 407 37.471.714 13.059.808
3 2003 270 28.885.864 6.700.000
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2003

Penurunan produktivitas di hutan alam tersebut sebahagian orang berpendpat sebagai indikasi kegagalan sistem silvikultur yang dipakai saat ini yaitu sistem Tebang Pilih Tananm Indonesia (TPTI). Sistem TPTI merupakan sistem silvikultur hutan daratan yang ditetapkan melalui SK Menhut No. 485/Kpts-II/1989, sedangkan pedoman TPTI nya ditetapkan dengan SK Dirjen PH No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989. Sistem silvikultur ini merupakan penyempurnaan dari sistem silvikultur sebelumnya yaitu sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang ditetapkan dengan SK Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/I/1972. Pada tahun 1993 pedoman TPTI sempat direvisi menjadi lebih banyak tahapan melalui SK Dirjen PH no. 151/Kpts/IV-BPHH/1993.
Dilihat dari segi konsep, sistem TPTI ini sudah bagus namun dalam implementasinya seringkali tidak sesuai. Aspek yang sulit dikendalikan adalah upaya pembinaan terhadap tegakan tinggal (pohon binaan). Menurut Soekotjo (2005) masalahnya terletak pada kontrol yang sulit dilakukan yang menyebabkan hasil pekerjaannya tidak mudah dilacak, sehinnga HPH(IUPHHK) tidak melaksanakan kewajibannya dengan sepenuh hati. Pelaksanaan pembinaan hutan sejujurnya tidak berkembang lebih baik daripada TPI. Seringkali pembuatan persemaian hanya merupakan pajangan agar penilai yakin bila HPH yang bersangkutan juga melakukan tanaman pengayaan.
Kegiatan tebang pilih dalam TPTI disinyalir telah menjadi pemicu penyempitan keragaman genetika populasi tegakan hutan alam. Dengan pendekatan batas limit diameter, mungkin saja pohon yang ditebang adalah pohon yang memiliki mutu genetik unggul dan yang dibiarkan justru yang memiliki mutu genetik jelek. Misalkan pohon A pada saat ini memiliki diameter (dbh) 49 cm, sedangkan pohon B memiliki diameter 50 cm, maka menurut sistem TPTI pohon yang ditebang adalah pohon B. Pohon A menjadi status pohon binaan, dengan asumsi riap diameter 1 cm/th maka pada tahun yang akan datang pohon A ini akan mencapai ukuran diameter 50 cm. Namun bisa saja pohon A ini umurnya sudah lebih tua dari pohob B, sehingga pohon A sudah stagnan dan tidak mampu mencapai ukuran diameter 50 cm. Dengan kata lain pohon A bisa memiliki mutu genetik jelek karena tidak mampu mencapai ukuran diameter ideal. Semakin banyak kasus ini terjadi maka generasi yang ditinggalkan adalah individu-individu yang berfenotif (genetik) jelek sehingga terjadilah penyempitan genetik (the bottle neck generation) di hutan alam. Hal ini harus dicegah dengan upaya pembangunan konservasi genetik jenis-jenis yang dibudidayakan, baik secara eksitu maupun insitu.
Penurunan produktivitas tidak hanya di hutan alam, tetapi juga terjadi di hutan tanaman di P. Jawa. Penurunan produktivitas lahan hutan terjadi pula di hutan tanaman jati yang dikelola lebih intensif. Penurunan produkstivitas lahan hutan jati disinyalir disebabkan karena kualitas tegakan jati semakin menurun sebagai akibat tidak menggunakan benih yang bergenetik unggul. Selain itu daya dukung lahannya sudah muali menurun akibat peurunan kandungan hara tanah dari tahun-ke tahun. Menurut Marsono (2002), struktur hutan monokultur menjadikan stabilitas hutan (natural stabilizing factor) tidak berfungsi, sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor, yang biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan.
Penentuan kelas kesuburan lahan di hutan jati ditentukan dari bonitanya. Bonita ditentukan dari nilai peninggi dan umur tegakan jati. Peninggi dihitung dari rata-rata tinggi sepuluh pohon tertinggi dalam petak penjarangan yang luasnya 0,1 ha. Praktek ini sudah berjalan lama dan menjadi dasar penetuan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan dalam kurun waktu 20 tahun. Metode penggunaan nilai bonita untuk menilai daya dukung lahan merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda. Mengingat kondisi tegakan jati sudah jauh berbeda maka perlu kiranya kebijakan ini ditinjau kembali. Penilaian daya dukung lahan lebih rasional dengan pendekatan ekosistem site (tapak) seperti dicontohkan oleh Marsono, (2005).
Dari hasil perhitungan penurunan produktivitas di hutan alam terjadi dari 0,5 m3/ha/th (TGHK,1983) menjadi 0,21-0,26 m3/ha/th (Suparna, 2005). Dengan demikian terjadi penurunan sebesar 48-58%. Sedangkan penurunan produktivitas hutan tanaman di Jawa (khususnya hutan tanaman jati) terjadi dari angka 4-6 m3/ha/th (data Wolf von Wulfing, sebelum 1900 - an) menjadi 1,298 m3/ha/th (Revilla & Setyarso, 1992), dengan kata lain terjadi penurunan produktivitas antara 67,5% - 78,4%.
KONSEPSI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN
Pengertian produktivitas hutan
Produktivitas adalah suatu indeks yangg dipakai untuk mengukur secara relatif hubungan antara output yg dihasilkan (barang & jasa) terhadap input (TK, material, energi, dan Sumber daya lainnya) yang dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk (Stevenson, 1996). Indeks produktivitas ini biasanya dinyatakan sebagai perbanidingan antara output dengan input.
Pada pembangunan hutan tanaman yang menjadi output bisa berupa kayu dan non kayu (termasuk jasa lingkungan). Untuk output berupa kayu biasanya dinyatakan dalam satuan rata-rata riap per tahun (mean annual increament) yaitu m3/ha/th. Sedangkan yang menjadi faktor input adalah jenis tanaman, tapak, iklim, unsur hara, teknik silvikultur, dan faktor-faktor lainnya. Dari berbagai infut tersebut , Zobel et al (1987) mengatakan bahwa faktor pemilihan jenis dan provenans merupakan kunci sukses program pembangunan hutan tanaman. Bahkan, Zobel & Talbert (1984) mengatakan bahwa hasil yang maksimal dari hutan tanaman hanya dapat dicapai jika aktifitas manjemen penghutanan yang intensif menggunakan materi genetik terbaik.
Konsep kesuburan lahan hutan
Pada umumnya kondisi lahan hutan alam (di luar Jawa) adalah lahan marginal. Jenis tanahnya sebagian besar adalah tanah pozsolik merah kuning (PMK), tanah ini termasuk ordo oxisols dan ultisol. Kedua tanah tersebut merupakan tanah tua yang sudah sangat lapuk (highly-weathered) dan berkembang lanjut, sehingga memiliki tingkat kesuburan rendah, terutama akibat rendahnya kandungan kation-kation basa (Ca, Mg, dan K) dan fosfor (P), serta rentan terhadap usikan. Kehilangan vegetasi penutup (hutan) mengakibatkan mudah tererosi dan cepat mengalami penurunan kapasitas produksi.
Hasil penelitian status hara di hutan alam yang dilakukan oleh Munawar (2005), menunjukkan bahwa kandungan unsur hara tanah di bawah tegakan hutan perawan (virgin forest) secara umum cenderung lebih tinggi daripada di hutan bekas tebangan yang sudah berumur satu hingga 4 tahun. Pada tanah ultisol pH tanah berkisar antara 3,5 - 5,5 (sangat masam) dan pada tanah di bawah tegakan hutan perawan pada kedalaman 0,5 cm lebih rendah daripada hutan bekas tebangan.
Kesuburan lahan hutan tropis terletak pada biomassa vegetasi di atasnya, apabila vegetasi diatasnya ditebang habis dan biomassa dikeluarkan dari tapak tersebut maka tanah hutan menjadi sangat miskin hara. Kondisi curah hujan yang tinggi mengakibatkan pencucian hara pada lantai hutan lebih tinggi, apalagi jika kondisinya gundul. Oleh karena itu pada tanah-tanah yang terbuka perlu input nutrisi lebih tinggi sampai tanah tersebut tertutup oleh vegetasi di atasnya. Menurut Goncalves et al, (2004) setelah kanopi (tajuk) menutup kebutuhan hara sebagian besar akan dipenuhi melalui penyerapan hara yang tersedia dari mineralisasi serasah (siklus biogeokhemis hara) dan retranslokasi (resorpsi) hara internal (siklus biokhemis). Semakin instens siklus hara, pohon semakin kurang bergantung pada penyerapan hara dari dalam tanah.

Penelitian retranslokasi hara pada spesies cepat tumbuh seperti A. mangium telah dilaporkan (Hardiyanto et al, 2004). Penelitian tersebut berusaha untuk memahami strategi pohon untuk mempertahankan pertumbuhan yang cepat sampai dengan akhir daur. Pada A. mangium berumur 2 tahun retranslokasi hara dalam pohon ternyata cukup besar. Misalnya pada plot yang kurang subur ketika daun berkembang dari fase hijau-hidup ke fase sanesen (senescent) – kuning, persentase hara yang diretranslokasikan dari daun senesen adalah 26,8% N, 76,5% P, 30,8%K, setara dengan (ha/th) 50 kg N, 5,2 kg P, dan 18,3 kg K, berdasrkan deposisi serasah sebesar 9,1 ton/ha/th. Pada plot yang lebih subur angka-angka ini adalah 30,3% N, 84,4% P, 34,5% K, setara dengan (ha/th) 56 kg N, 5,7 kg P dan 20,3 kg K berdasarkan deposisi serasah sebesar 9,0 ton/ha/th.
Strategi peningkatan produktivitas lahan hutan
Peningkatan produktivitas lahan hutan bisa ditempuh melalui dua pendekatan yaitu (1) pendekatan peningkatan kualitas tegakannya (vegetasi) dan (2) melalui peningkatan daya dukung lahannya. Peningkatan kualitas tegakan bisa ditempuh melaui upaya antara lain:
a. Pemakaian benih/bibit unggul secara genetik
”Kualitas tegakan yang akan datang ditentukan dri kualitas benih yang ditanam saat ini”. Nampaknya slogan ini tidak terlalu mengada-ngada sebab benih yang berkualitas akan menghasilkan bibit berkualitas, bibit berkualitas akan menghasilkan tanaman berkualitas dan tanaman berkualitas akan menghasilkan pohon yang berkualitas, dengan catatan prosesnya dilakukan secara baik dan benar. Proses tersebut tidak lain adalah silvikultur intensif.
b. Penerapan teknik silvikultur intensif
Teknik silvikultur adalah suatu metode bagaimana menangani pembangunan hutan mulai dari perbenihan, persemaian, penanaman dan pemeliharaan tanaman dan tegakan sampai siap panen (tebangan akhir daur). Teknik silvikultur intensif adalah suatu istilah untuk membedakan dengan teknik silvikultur biasa (tradisional). Teknik silvikultur intensif mencakup beberapa aspek yaitu; pemakaian materi benih bergenetik unggul (berkualitas), pengolahan tanah dengan prinsip Reduce Impact Loggging (RIL) atau Low Tillage, penanaman tepat waktu pada musim penghujan, penambahan input hara tanah dengan pupuk buatan atau bahan organik, pemeberantasan hama dan penyakit, pemeliharaan intensif (pendangiran, wiwil, pemangkasan dan penjarangan), perlindungan gangguan hutan.
c. Penerapan pemuliaan pohon
Hasil-hasil pemuliaan pohon (Breeding) akan menghasilkan karakter (traits) yang unggul dan diinginkan sehingga akan membantu peningkatan produktivitas. Tujuan dari pemuliaan pohon adalah memperoleh peningktan genetik (genetic gain) dari sifat yang diinginkan, terutama sifat ketahanan terhadap hama atau cekaman lingkungan.
d. Perlindungan gangguan hutan
Gangguan hutan meliputi gangguan hama penyakit, kebakaran, pencurian, dan bencana alam. Yang bisa diintensifkan adalah pencegahan dari gangguan hama/penyakit, kebakaran dan pencurian dengan bekerjasama dengan stakeholder yang terkait.
e. Pengadaan sumber benih unggul
Pangadaan sumber benih unggul antara lain dengan membangun kebun benih dari Uji keturunan yang selanjutnya dikonversi ke kebub benih. Tipe kebun benih yang dibangun bisa berupa kebub benih semai (seedling seeed orchard) atau kebun benih klonal (Clonal seed orchard). Selain untuk penyediaan benih kebun benih juga berfungsi sebagai konservasi meteri genetik tanaman.
Peningkatan daya dukung lahan hutan dapat dilakukan melalui pengendalian neraca hara tanah hutan, penerapan RIL, pemanfaatan mikroorganisme tanah hutan, stabilisasi pH tanah, dan penerapan KTA. Penambahan input nutrisi (hara) ke lantai hutan sangat bermanfaat untuk stabilisasi sifat fisik dan kimia tanah hutan, terutama pada saat tajuk pohon belum menutupi areal (awal pertumbuhan). Setidaknya pemberian input nutrisi yang tepat adalah pada awal pertumbuhan tanaman dan pasaca penjarangan.
Di Australia, pemupukan pada tegakan Pinus radiata pasca penjarangan pertama dengan pupuk N dan P dapat meningktkan produktivitas yang signifikan (>30% dalam luas bidang dasar dan volume dalam kurun waktu 7 tahun) (Sar dan Crane 1984, Turner et al 1995). Di Selandia Baru, pemupukan setelah penjarangan meningktkan pertumbuhan berkisar antara 28 % sampai 69 %. (Crane, 1984). Hara yang berpengaruh pada pemupukan pasca penjarangan adalah N dan P. (Turner, et al, 1995).
Kajian kelestarian produktivitas hutan tanaman daur pendek telah dilakukan pada A.mangium. Hasilnya pada daur kedua, pada tanah PMK di Sumatera Selatan mennjukkan bahwa produktivitasnya A.mangium tidak menurun, malahan lebih tinggi dari daur pertama. Pertanaman daur kedua pada umur 3 tahun memiliki volume batang (total) berkisar antara 132-160 m3/ha. Peningkatan produktivitas ini disebabkan oleh penggunaan bibit bermutu, dikombinasikan dengan praktik silvikultur yang tepat, antara lain penyiapan lahan minimum, manajemen bahan organik, masukan hara, dan pengendalian gulma (Hardiyanto et al. 2004).
SIMPULAN
Dari uraian ini dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Peningkatan produktivitas hutan dapat dilakukan melalui (1) pendekatan peningkatan kulaitas tegakannya dan (2) melalui peningktan daya dukung lahannya.
2. Faktor input yang penting bagi peningkatan produktivitas hutan adalah (1) penggunaan materi genetik unggul dan (2) penerapan sistem silvikultur intensif.
PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik Perusahaan hak Pengusahaan Hutan, BPS, Jakarta.
Crane,W.J.B. 1983. Fertilisation of Pinus merkusii at establishment and in association with thinning-an evaluation of its potential in Australia. N.Z.J. For. Sci. 12: 293-307
Crane, W.J.B. 1984. Fertilisation of Fast Growing Conifers. UFRO, Proc. Symp. On site and productivity of Fast Growing Plantations. South Africa, may 1984. pp 233-251.
Departemen Kehutanan. 1989. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Departemen Kheutanan Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1993. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Departemen Kheutanan Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1997. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 220/Kpts/IV-BPHH/1997 tentang Pedoman Pelaksanaan Hutan Tanaman Industri dengan Sistem Tebang Pilih dan Tanam Jalur. Departemen Kheutanan Jakarta.
Freezailah, B.C.Y. 1998. General Lecture at the Gadjah Mada University, Yogyakarta. 10 Agustus 1998. Faculty of Forestry, Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Goncalves, J.LM., Stape, J.L., Benedetti, V.,Fesel, V.A.G and Gava,J.L. 2004. An Evaluation of minimum and intensive spil preparation regarding Fertility and Tree Nutrition. In: Goncalves, J.L.M. and Benedetti, V (Eds). Forest Nutrition and Fertilization. Institute of Forest Research and Study, Piracicaba, Sao Paulo. Pp 13-64
Hardiyanto, E.B. 2004. Biodiversitas hutan tanaman Acacia mangium dalam : Hardiyanto, E.B dan Arisman, H (Eds) Pembangunan Hutan Tanaman acacia mangium Pengalaman di PT Musi Hutan Persada , Sumatera Selatan. PT. Musi Hutan Persada. Palembang. Hal 397-418.
Marsono. 2002. Keharusan Konservasi dalam Pengelolaan Hutan. Dalam Seminar Rehabilitasi dan konservasi menuju Pengelolaan Hutan Masa Depan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada . Yogyakarta.
Na’iem, M. 2002. Konservasi Keragaman Sumberdaya Genetik untuk Peningkatan Produktivitas Hutan. Dalam Seminar Rehabilitasi dan konservasi menuju Pengelolaan Hutan Masa Depan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada . Yogyakarta.
Nugraha, A. 2005. menggugat Status Silvikultur Hutan Alam: Antara Kunci atau Kartu Mati. dalam Prosiding Peningkatan Produktivitas Hutan. (ed. Eko B. Hardiyanto). Proyek ITTO PD 106/01 Rev. 1(F). Yogyakarta.
Sadharjo Sm, Aris W. 2002. Penigkatan Produktivitas Tegakan Jati Melalui Silvikultur Intensif. Dalam Seminar Rehabilitasi dan konservasi menuju Pengelolaan Hutan Masa Depan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada . Yogyakarta.
Soekotjo. 2005. Evolusi Tebang Pilih Indonesia: Konsep, Aplikasi dan Hasil. dalam Prosiding Peningkatan Produktivitas Hutan. (ed. Eko B. Hardiyanto). Proyek ITTO PD 106/01 Rev. 1(F). Yogyakarta.
Stevenson, W.J. 1996. Production/Operation Management. Fofth edition. Irwin Mc. Graw Hill, Boston, USA.
Suparna, N. 2005. Meningkatkan Produktivitas kayu dari Hutan Alam dengan Penerapan Silvikultur Intensif di PT sari Bumi Kusuma Unit Seruyuan-Kalteng. dalam Prosiding Peningkatan Produktivitas Hutan. (ed. Eko B. Hardiyanto). Proyek ITTO PD 106/01 Rev. 1(F). Yogyakarta.
Turner., J., Knott, J.H. and Lambert, M. 1995. Fertilization of Pinus radiate plantations after thinning. I. Productivity gains. Australia Forestry 59: 7-21
Zobel, B.J, Van Wyk, G, Stahl,P. 1987. Growing Exotic Forest. John Willey and Sons, New York. USA
Zobel, B.J and Talbert, J,.T. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley & Sons, New York.
Peneliti di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Unwim

Last Updated ( Wednesday, 11 February 2009 18:41 )

EKSPLORASI CALON POHON PLUS TENGKAWANG (Shorea spp) DI AREAL IUPHHK PT. RODA MAS TIMBER KALIMANTAN UNIT II BASE CAMP SEI. BOH KALIMANTAN TIMUR



Written by Intsia bijuga
Wednesday, 11 February 2009 18:22
Salah satu dari serangkaian kegiatan pemuliaan pohon yaitu seleksi. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan pemilihan pohon unggul (superior) dari suatu populasi yang luas untuk mendapatkan peningkatan nilai genetik (Zobel dan Talbert, 1984).
Seleksi pohon plus tengkawang di areal IUPHHK PT. Roda Mas Timber Kalimantan belum pernah dilakukan. Tujuan akhirnya adalah pembangunan sumber benih berkualitas mengingat pohon tersebut selain kayunya yang mempunyai nilai komersil tinggi terutama kayu dan buahnya serta dilindungi. Selanjutnya, seleksi pohon plus jenis tengkawang yang dimaksud adalah Shorea macrophylla atau S. gyberstiana (de Vriese) P. Ashton, Shorea pinanga Scheff dan Shorea seminis de Vriese.
Metode penilaian calon pohon plus yang digunakan adalah dengan menggunakan metode tanpa pohon pembanding dan metode pohon pembanding (modifikasi).
Berdasarkan hasil survei ditemukan sebanyak 43 calon pohon plus yang tersebar di petak J sebanyak 14 pohon, tegakan bina pilih sebanyak 3 pohon, depan camp perencanaan sebanyak 3 pohon, pinggir jalan KM 5 sebanyak 1 pohon, dibelakang persemaian sebanyak 3 pohon, sebanyak 17 pohon di jalur orientasi petak 2009, 1 pohon sebelum masuk jalur orientasi petak 2009 dan 1 pohon di depan tenda kegiatan orientasi petak 2009.
Berdasarkan hasil penilaian dengan metode tanpa pohon pembanding terhadap 43 calon pohon plus tengkawang, diperoleh skor antara 52 sampai 95. Kriteria pohon yang lolos seleksi menjadi pohon plus adalah pohon-pohon yang memiliki skor ≥ 60, oleh karena itu dari 43 calon pohon plus yang dinilai hanya sebanyak 41 pohon yang lolos seleksi.
Hasil penilaian dengan menggunakan metode tanpa pohon pembanding dinilai ulang dengan menggunakan metode pohon pembanding (modifikasi). Adapun yang menjadi pohon pembanding adalah rata-rata diameter dan tinggi dari 43 calon pohon plus. Hasil penilaian akhir dengan metode pohon pembanding (modifikasi) terhadap 43 calon pohon plus tengkawang, diperoleh skor antara 55 sampai 97. Kriteria pohon yang lolos seleksi menjadi pohon plus adalah pohon-pohon yang memiliki skor ≥ 60, oleh karena itu dari 43 calon pohon plus yang dinilai hanya sebanyak 27 pohon yang lolos seleksi.
Pengambilan titik GPS masing-masing calon pohon plus yang telah ditunjuk tidak dilakukan pada semua calon pohon plus dikarenakan ada beberapa areal seperti areal jalur orientasi RKT 2009 memiliki penutupan tajuk yang cukup rapat, maka pengambilan titik pohon plus yang berada dalam areal jalur orientasi RKT 2009 menggunakan koordinat lokal mengikuti jalur orientasi kayu.
Perbedaan antara kedua metode tersebut dalam pengukuran tiap karakter pohon terletak pada pengukuran karakter tinggi dan diameter pohon, dimana pada metode tanpa pohon pembanding kedua karakter tersebut tidak dihitung. Keuntungan menggunakan sistem penilaian pohon plus tanpa pohon pembanding adalah kemudahan dalam menghitung tiap karakter, karakter yang dihitung sedikit dan bobot nilainya lebih besar. Sedangkan kerugiannya adalah kurang selektif dalam pemilihan pohon plus karena karakter yang merupakan sifat kuantitatif dari calon pohon plus tidak dihitung yaitu tinggi dan diameter. Dengan penggabungan dua metode tersebut diharapkan penilaian terhadap pohon plus tengkawang akan lebih selektif karena melewati dua tahapan penilaian yang mencakup sifat kualitatif dan kuantitatif.
Hasil akhir penemuan calon pohon plus tengkawang hanya diperoleh 43 calon pohon plus. Hanya terdapat 41 pohon plus yang memenuhi kriteria standar penilaian (total skor ≥ 60), berdasarkan sistem penilaian dengan metode tanpa pohon pembanding. Sedangkan pada sistem penilaian dengan metode pohon pembanding (modifikasi) terdapat 27 pohon plus yang memenuhi kriteria standar penilaian (total skor ≥ 60).
Berdasarkan metode tanpa pohon pembanding, pohon plus terpilih banyak didominasi oleh Shorea seminis dengan jumlah 18 pohon. Untuk shorea gyberstiana dan Shorea pinanga berturut-turut berjumlah 12 dan 11. Sedangkan dengan metode pohon pembanding (modifikasi) pohon plus masih didominasi oleh Shorea seminis dengan jumlah 15 pohon dan berturut-turut Shorea gyberstiana dan Shorea pinanga dengan jumlah 8 dan 4 pohon.
Adanya perbedaan hasil antara metode tanpa pohon pembanding dan metode pohon pembanding (modifikasi) menunjukkan bahwa metode pohon pembanding (modifikasi) lebih selektif daripada dengan metode tanpa pohon pembanding. Terbukti dengan 41 pohon yang memenuhi kriteria metode tanpa pohon pembanding, menjadi 27 pohon plus berdasarkan metode pohon pembanding (modifikasi).
Mengingat tujuan pembangunan sumber benih tengkawang adalah untuk kayu pertukangan/gergajian, maka sifat kualitatif seperti kelurusan batang dan kesilindrisan batang dari pohon tersebut diperhitungkan karena sifat-sifat kualitatif tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh genetik.
Penggabungan sistem penilaian pohon plus metode tanpa pohon pembanding dan metode pohon pembanding (modifikasi) menghasilkan 27 pohon terbaik dengan asumsi bahwa pohon yang memiliki skor tertinggi adalah pohon terbaik. Calon pohon plus yang terpilih sudah memenuhi syarat 25 pohon untuk dijadikan sebagai pohon induk dalam rangka membangun sumber benih (Dephut, 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar